Dear Papa,

Terinspirasi dari sebuah novel yang sedang ku baca “Dear Papa”, tiba-tiba hati ku tergerak untuk menulis sesuatu tentangnya.

Papa,
Seorang ayah, pemimpin rumah tangga, tulang punggung keluarga, imam, dan pusat kebanggaan di keluargaku. Pria separuh baya yang sudah mengarungi perjalanan hidup selama 51 tahun itu berdiri tegap di bayang kepala ku saat ini. Sambil tersenyum manis adek ingin mempersembahkan tulisan ini untukmu.

Papa ku anak ke 6 dari 9 bersaudara. Papaku tumbuh besar tanpa didampingi seorang ibu, karena mamanya (opung boru ku) meninggal di usia nya yang cukup belia. Besar dengan kasih sayang seorang ayah yang berjuang hidup menyekolahkan dan membiayai hidup 9 anaknya, memaksa papa ku untuk bisa hidup mandiri sedini mungkin. Setamat dari SMA papa memutuskan untuk segera bekerja tanpa memikirkan harus kuliah dan lain-lainnya. Dan Tuhan membukakan jalan, papa ku keterima menjadi seorang pegawai.

Keadaan seperti ini menyadarkan papa ku kalau seorang anak benar-benar membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua, maka sampai sekarang ini dia tak pernah sedetikpun menyia-nyiakan kami (ketiga anaknya). Bahkan terkadang kasih sayang yang diberikan papa kepada kami terkesan over protective (dan kini aku menyadari bahwa dia tidak bermaksud lain, semata hanya ingin melindungi dan menyanyangi kami saja). Dari kami sekolah di Taman Kanak-Kanak (aku dan kakak) sampai ke bangku SMA, papa selalu setia mengantar jemput kami ke sekolah. Aku sama sekali tak pernah malu jika teman-temanku yang lain selalu mengatakan aku anak “papi”, aku sama sekali tak terusik dengan pernyataan itu malah yang ada aku BANGGA karena aku punya papa yang masih bisa dan mau mengantar jemput kemana pun anak-anaknya pergi. Pria hebat yang cukup protective ini sempat meresahkan pikiranku, abang, kakak dan mama, dengan sifat papa yang seperti ini memungkinkankah dia memberi kami ijin untuk merantau ke pulau Jawa. Ketakutan kami terjawab pada saat dia melepaskan abang untuk kuliah di Jogja. Satu minggu sebelum keberangkatan abang (karena ini untuk kali pertamanya harus berpisah dengan salah satu anaknya) dia meluangkan banyak waktu dan uang untuk memanjakan abang sebelum dia merantau di kota orang. Di pelabuhan kapal, saat abang sudah berada di dalam kapal menuju Jakarta papa masih sempat menelfon abang dan dalam tangisnya dia berkata : “Selamat Jalan Mang, doa papa bersamamu di perantauan”. Saat itu aku yang berusia 11 tahun melihat pria tegar di hidupku ini menitikkan air mata melepas salah satu bagian dalam hidupnya. Perlahan, kakak pun pergi meninggalkan rumah demi menuntut ilmu di kota orang. Kemudian rasa takut mulai menyelimutiku saat aku sadar bahwa aku anak paling kecil di keluargaku, dan hampir kebanyakan dari keluarga besar ku anak paling kecilnya memilih atau dipilih untuk tinggal tetap di rumah untuk menemani kedua orang tuanya yang sudah mulai tua. Saat itu tak terucap langsung dari bibir papa, dia hanya menyiratkan sebuah permintaan besar dan papa ingin aku menjadi seorang dokter. Berapapun dia bersedia menyiapkan dana asal aku bisa sekolah kedokteran bahkan di perguruan tinggi swasta Medan sekalipun. Aku ingin mengabulkan permintaannya itu tapi hatiku berkata lain, bukan passionku di kedokteran dan aku memilih jalanku untuk berkuliah di Teknik Telekomunikasi IT Telkom. Dan saat keberangkatanku dengan tegar (entah karena ini sudah ketiga kalinya harus melepaskan bagian ketiga dari hidupnya) papa mengantarku ke bandara. Sebelum aku memasuki ruang tunggu, aku berpamitan, mencium tangannya dan papa memelukku dan mencium kedua pipiku, saat itu aku merasakan pelukan hangat yang tak ingin ku lepas, dan dia berkata : “Berjuang pudan, gapai mimpimu dan jadi kebanggaanku”. Dan ini sudah tahun ke4 selesai peristiwa mengharukan itu dan adek masih terus berjuang menorehkan senyum kebanggaan di wajah papa.

Ada beberapa hal yang harus aku dan kedua saudara ku tutupi dari papa (karena sifat khawatir papa yang terlalu berlebihan kepada kami). Salah satu contohnya : pada saat aku dan kakak hendak liburan ke bekasi untuk pertama kalinya ke rumah bou (adik papa) kami nyasar ke Jakarta, saat itu kami memilih diam dan berusaha sendiri untuk bisa kembali ke bekasi dengan selamat; pada saat aku menjalani Geladi di Bali aku tak memberi tahunya situasi keberangkatan kalau rombongan kami belum mendapat kos-kosan disana dan kami pergi ke kota orang tanpa tujuan yang jelas; aku berlibur ke Jakarta Utara (Waterboom PIK), Kawah Putih, menginap beberapa hari di Bogor dan itupun tanpa memberi tahunya. Karena alasan rasa khawatirnya yang berlebihan dan aku pun tak ingin diusik dengan telfon dari rumah setiap setengah jam sekali hanya untuk memastikan keberadaanku aku memutuskan untuk diam tanpa memberitahunya.

Tak jarang aku yang terlahir sebagai anak bungsu merengek manja minta ini minta itu. Dan ini baru terjadi sebulan yang lalu, saat dengan bangga aku mempersembahkan nilai semesterku ke papa dengan iming-iming dia akan menyetujui proposalku untuk berlibur beberapa minggu di kota kelahiranku. Saat itu sore menjelang malam, dia yang sedang memanjakan tubuhnya yang lelah habis bekerja seharian di lapangan, tidur sambil menonton TV dan saat itu pulak aku mengajukan proposal itu. Diam, dan tak bereaksi sama sekali untuk beberapa saat sampai akhirnya dia mengangkat suara dan dia tak memberiku ijin. Sedih, dan saat itu aku hanya diam dan mengomel di dalam hati. Aku merasa alasan papa tidak masuk akal, untuk 2 hari ke depan aku meluncurkan aksi mogok bicara. Aku asik dengan dunia ku, laptop, internet dan beberapa buku baru tanpa mempedulikan papa. Lalu aku mengadu kepada mama, dan aku berkata papa selalu mengabulkan permintaan kakak, dia minta ini dibeliin, dia minta itu dibeliin kenapa pada saat aku yang meminta papa menolaknya, malah yang anehnya aku hanya minta ijin untuk berlibur ke Medan tanpa meminta uang sedikitpun dari papa karena aku pun sudah memiliki anggaran dari tabungan ku untuk berlibur. Akhirnya karena satu alasan yang sudah melewati “proses” yang sangat menakutkan dia memberi ku ijin. Sampai dengan keberangkatan aku dan mama ke Medan aku sama sekali tidak berani menatap dan berbicara dengan papa, sampai akhirnya dia memelukku dan dia menangis berkata : “aku tak pernah membeda-bedakan kalian, kalian sama di hadapanku dan kasih sayangku terbagi sama rata untuk semuanya”. Aku hanya bisa menangis dan aku kembali memeluknya dan meminta maaf karena sudah berprasangka buruk terhadapnya.

Priaku ini sungguh luar biasa, pria yang ga banyak bicara dan terkesan dingin kepada semua orang dan semua hal begitu memegang teguh prinsipnya. Dia berkata TIDAK untuk sesuatu yang dianggapnya tidak benar, dan berkata IYA untuk sesuatu yang sejalan dengan rasionya. Hal ini yang membuat dia cukup bertentangan dengan beberapa orang, bahkan dengan saudara-saudaranya. Papa yang sudah bisa hidup mandiri sejak usianya yang belia menjadikannya tulang punggung untuk keluarganya, cukup mapan untuk bisa membantu beberapa orang adik dan abangnya. Tapi, beginilah hidup terkadang di atas dan terkadang di bawah. Sampai usiaku sekitar 8 tahunan aku masih merasakan masa kejayaan ekonomi keluarga kami dan aku sama sekali tak merasakan ada kesombongan di dirinya bahkan dia dengan ringan tangan dalam hal memberi materi kepada yang lain. Sampai akhirnya roda itu berputar, papa dipindah tugaskan ke daerah, Tarutung, dan saat itu keadaan ekonomi keluarga ku berputar 180 derajat. Papa depresi, beberapa bulan dia berjuang melawan kedepresiannya itu sampai akhirnya dia berhasil menemukan kembali semangatnya tapi itu tidak merubah kondisi ekonomi keluargaku. Terseok-seok kami melangkah, keadaan ini juga memaksa mama untuk ikut membanting tulang demi menyekolahkan kami. Perlahanpun sanjungan yang dulu diterima papa pada saat kejayaannya mulai meredup, tak sedikit orang mulai memandangnya sebelah mata tapi papaku tak begitu memusingkan itu dia berjuang hanya untuk 4 alasan : mama, abang, kakak dan adek. Dia tak berjuang seorang diri, dia berjalan dengan sosok penuntun jalan di hidupnya “YESUS”, perlahan tapi pasti Tuhan membuka jalan untuk papa bisa kembali ke masa jaya nya itu. Dipindah tugaskan ke Bandung lalu menetap di Bekasi, Tuhan kembali membuka lumbung emas yang sudah tertutup hampir 12 tahun lamanya.

Dia, ayah yang berjuang penuh semangat, kini sudah memasuki usia senja. Tapi masih terlihat sangat ganteng dengan costum kesayangannya, celana jeans, kaos oblong dan sepatu kulit yang maco terlihat seperti pria dewasa yang tampan. Sudah saatnya adek, abang, dan kakak membalas setiap peluh yang papa keluarkan, menggantikan letih yang selama ini menjadi sebuah senyum kebanggaan. Aku ingat dengan jelas papa berkata : “Kami ini bukan orang kaya, kami tak punya tanah untuk kami wariskan kepada kalian nantinya, kami tak punya banyak rumah yang bisa kami beri satu-satu ke kalian, kami miskin materi. Hanya kalian bertiga harta terbesar yang papa mama miliki saat ini”.

Adek sangat bersyukur memiliki mu, pria terganteng di dalam hidupku. Menyenangkan mu menjadi alasan kenapa adek berjuang saat ini. Adek berharap kau bisa menghantarkan ku ke pelaminan, aku mengenakan gaun putih ku berjalan menuju pelataran suci sambil merangkul mu yang berbalutkan jas hitam. Adek ingin melihat mu menggendong cucu mu.

Terima kasih untuk lelaki terbaik di hidupku,
Aku yang akan selalu menyanyangimu

Boru pudan mu yang nakal
-Lisa Anastasia Simangunsong-